Loading...
Rabu, 20 Maret 2013

Tipu Daya Akal, Harta, dan Makhluk

  Sebagian orang bijak berkata, “Barangsiapa berpegang teguh pada akalnya, niscaya dia akan sesat. Barangsiapa mencari kecukupan melalui harta bendanya, niscaya dia akan melarat, dan barangsiapa mencari kemuliaan dari makhluk niscaya dia hina.”
Seringkali kita terjebak ke lubang kesesatan, kemeleratan, dan kehinaan hidup. Penyebabnya tiada lain karena penghambaan yang berlebihan terhadap akal, harta, dan makhluk Allah. Padahal, ketiganya tidak lebih dari sebuah tipu daya yang setiap saat akan menjerumuskan manusia.
Karena itu, perkataan sebagian orang bijak di atas menjadi benar. Yaitu bahwa berpegang teguh pada akal, akan membuat seseorang sesat, juga menghamba kepada harta dan mencari kemuliaan dari makhluk selain Allah akan membuat pelakunya melarat dan hina.
Kesesatan Akal
Benarkah akal menyesatkan? Benar, apabila akal menyebabkan kita tidak percaya akan eksistensi Allah dan syariat-syariat-Nya. Banyak orang yang berusaha menjangkau nalar Tuhan dengan akalnya. Tapi, tidak satu pun yang pernah berhasil melakukannya. Hal itu dikarenakan keterbatasan akal dan pengetahuan yang dimiliki manusia. Apalagi, manusia selamanya tetap berada dalam posisi sebagai makhluk bukan pencipta. Bagaimana seorang makhluk bisa memahami kreasi Penciptanya?
Kesesatan akal terletak pada bagaimana menyikapinya, bukan pada akal itu sendiri. Akal tidak pernah sesat, yang sesat adalah orang yang “menuhankan” akal. Menganggap akal segala-galanya. Padahal, akal adalah salah satu anugerah terbesar yang diberikan Allah kepada manusia. Akal pulalah yang membedakan status antara manusia dengan binatang. Dengan akal, manusia mampu mengidentifikasi dirinya dan lingkungan sekitarnya.
Akal yang sesat senantiasa menuntun pemiliknya untuk selalu “bersikap ragu” dan “menggugat” semua ketetapan hukum-hukum Allah dan Rasul-Nya. Mereka meyakini bahwa akal-lah kreator segala yang ada, bukan Tuhan. Sikap seperti ini lahir dari perasaan superior dan kesombongan yang berpangkal pada tiadanya iman dalam hati orang tersebut.
Apabila keraguan yang disebabkan ulah akal yang sesat terjadi pada seorang beragama, akan menyebabkan dia mengalami kedangkalan beragama. Nilai-nilai agama yang tertanam dalam dirinya akan tereduksi dan terkikis dengan sendirinya, cepat maupun lambat. Ini sangat membahayakan. Bagi seorang muslim misalnya, dia akan senantiasa menggugat ketentuan syariat. Seperti, kenapa shalat maghrib tiga rakaat, sedangkan shalat isya’ empat rakaat, padahal keduanya sama-sama dilaksanakan pada malam hari? Kenapa Thawaf harus ke Ka’bah? Kenapa Thawaf harus tujuh putaran? Dan beberapa pertanyaan menggugat lainnya.
Di sinilah keterbatasan akal. Tidak bijak memaksakan akal untuk memahami sesuatu yang akal sendiri tidak bisa menjangkaunya. Hanya ada satu pilihan, yaitu mengimani dan melaksanakan semua hukum Allah dengan keimanan yang sempurna, dan kepasrahan yang mutlak sebagaimana firman Allah,
”Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. Dan barangsiapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya maka sungguhlah dia telah sesat, sesat yang nyata.” (QS Al-Ahzâb : 36).
Tipu Daya Harta
Setiap hari kita menyaksikan orang-orang berlomba-lomba menumpuk harta. Berbagai cara mereka lakukan bahkan dengan cara jahat sekalipun. Tidak peduli harta itu berasal dari hasil curian atau korupsi.  Mereka meyakini dengan memiliki banyak harta secara otomatis status sosial mereka di mata masyarakat meningkat. Prestise seperti ini biasa dipupuk oleh mereka yang berjiwa materialistis, yang menganggap harta sebagai panglima.
Orang yang “tamak” harta pasti selalu merasa “lapar” dan tidak pernah merasa cukup. Sebanyak apa pun harta yang dimiliki, pasti harta itu tidak pernah cukup baginya. Apabila saat ini sudah memiliki sepeda motor misalnya, orang tersebut pasti berambisi untuk membeli mobil. Begitu seterusnya. Sikap seperti ini pada gilirannya akan melahirkan kesombongan dan persaingan tidak sehat.
Sadarilah bahwa harta-harta itu sejatinya adalah titipan Allah yang harus dijaga dan digunakan untuk hal-hal yang bermanfaat. Jangan sampai harta-harta itu membuat pemiliknya lalai apalagi lupa mengingat Allah. Karena itu, untuk apa pun harta itu digunakan harus diniatkan untuk ibadah kepada Allah. Kalau tidak, kita akan dikategorikan sebagai orang yang merugi. Firman Allah,
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah harta-hartamu dan akan-anakmu melalaikan kamu dari mengingat Allah. Barangsiapa yang berbuat demikian, maka mereka itulah orang-orang yang rugi.” (QS Al-Munâfiqûn: 9)
Kenapa kita mesti bersikap waspada terhadap setiap harta yang kita miliki? Tidak lain karena setiap harta itu mengandung tipu daya. Kalau tidak disikapi dengan benar maka harta itu akan menjerumuskan kita. Harta selalu membuat pemiliknya silau. Ibarat sebatang magnet, harta senantiasa akan menarik siapa saja yang menyentuhnya. Menggantungkan hidup hanya pada harta akan membuat kita melarat dan nestapa. Karena harta tidak pernah memberikan kepuasaan batin, apalagi kebahagiaan.
Kisah yang menimpa Qorun pada masa Nabi Musa a.s. layak kita cermati dan kita ambil hikmahnya.  Dia adalah personifikasi orang kaya yang durhaka kepada Allah dan orang yang sangat bakhil. Apabila ia disuruh mengeluarkan zakat, sedekah dan sebagainya, ia malas dan enggan, bahkan dia menyangka seolah-olah harta bendanya itu akan kekal bersamanya. Harta itu pula yang membuatnya sombong dan berlaku kasar kepada manusia. Sebagai balasan keangkuhannya, Allah membenamkan Qorun beserta seluruh harta bendanya. Firman Allah,
“Kemudian Kami benamkan Qorun itu besert rumahnya ke dalam bumi. Maka tidak ada baginya suatu golongan pun yang menolongnya terhadap azab Allah, dan tiadalah ia termasuk orang-orang (yang dapat) membela dirinya.” (QS Al-Qashash: 81).
Kehinaan Seorang Makhluk
Adakah seseorang yang mampu memberi kemuliaan kepada orang lain? Kalau ada, maka kemuliaan yang diberikan itu sesungguhnya kemuliaan semu. Kemuliaan hanya milik Allah. Dialah yang Mahamulia. Mencari kemulian kepada selain Allah, itu berarti mencari tuhan selain-Nya. Karena hanya Allah yang mampu memberikan predikat mulia. Bukan manusia! Mencari kemuliaan dari manusia sama halnya menjerumuskan kita ke lubang kehinaan.
Kenapa kemudian banyak orang yang mencari kemuliaan kepada selain Allah? Motifnya bisa jadi karena jabatan, kekuasaan, kekayaan atau sekadar mencari pujian. Karena sekadar ingin mendapat jabatan tinggi misalnya, seseorang rela membela habis-habisan atasannya padahal sang atasan dalam kondisi salah atau sedang terlibat dalam tindak kejahatan. Sikap seperti ini biasa disebut fanatisme buta yang mudah menjangkiti mereka yang tidak mempunyai pengetahuan yang cukup dan kesadaran batin terhadap hakikat sesuatu.
Bagaimana mungkin seorang makhluk mencari kemuliaan dari makhluk lainnya. Bukankah mereka memiliki derajat sejajar sebagai makhluk Allah? Hal inilah yang mesti disadari sejak awal bahwa sebagai makhluk kita sejajar, kita sama. Kesejajaran ini dengan sendirinya akan menimbulkan sikap saling pengertian dan toleransi. Tidak ada yang paling berkuasa atas lainnya. Apalagi menyatakan paling kuat dan paling super.
Karena itu, kualitas kemuliaan itu tidak diukur dari berapa banyak pujian dan penghargaan yang diberikan orang lain kepada kita, melainkan kualitas ketakwaan kita kepada Allah. Kualitas ketakwaan ini diwujudkan dalam totalitas penghambaan kepada Allah dengan melaksanakan semua perintah-Nya dan menjauhi semua larangan-Nya.  Firman Allah SWT,
“Hai manusia, sesungguhnya kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling takwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.” (QS Al-Hujurât: 13).

Akhirnya, mudah-mudahan kita mampu mengendalikan akal kita dan bukan dikendalikan akal, mampu menjaga harta dan memanfaatkannya di jalan Allah bukan diperbudak harta, serta mampu memposisikan manusia lainnya sebagai makhluk Allah bukan sebagai “tuhan” yang bisa berbuat apa saja, apalagi memberikan kemuliaan. Amin.

Oleh : KH. Muhammad Idris Jauhari

0 komentar:

Posting Komentar

 
TOP